Kategori
Anak Corporate Innovation Kebijakan Keluarga Leadership Manajemen Tokoh Wirausaha

Family ownership menjadi topik menarik untuk diteliti pada perusahaan di Indonesia

Family ownership menjadi topik menarik untuk diteliti pada perusahaan di Indonesia. Artikel ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah family ownership dan direktur independen memiliki pengaruh terhadap kinerja perusahaan. Family ownership adalah perusahaan yang kepemilikannya dimiliki oleh keluarga lebih dari20% hak suara. Perusahaan kepemilikan keluarga atau family ownership mempunyai beberapa kelebihan dibanding perusahaan non kepemilikan keluarga, seperti perusahaan keluarga memiliki agency problem dan perusahaan kepemilikan keluarga memiliki loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan. Direktur independen merupakan suatu jabatan yang bertugas untuk meningkatkan transparansi dan mengawasi kegiatan perusahaanberjalan efektif dan efisien. Kinerja perusahaan merupakan kemampuan perusahaan dalam mengelolah sumberdaya dalam meningkatkan kinerja.

Family ownership diukur dengan cara melihat data laporan tahunan perusahaan dan memeriksa strukturkepemilikan perusahaan serta memeriksa susunan dewan direksi perusahaan. Direktur independen diukur denganmenghitung serta membandingkan jumlah direktur independen yang ada dengan total anggota dewan direksi.Kinerja perusahaan diukur dengan menggunakan Return on Asset. Hasil penelitian menunjukkan bahwa familyownership tidak berpengaruh terhadap kinerja perusahaan serta direktur independen berpengaruh negatif terhadapkinerja perusahaan.

PENDAHULUAN

Perusahaan kepemilikan keluarga yang kinerjanya ditentukan dan diatur oleh keluarga mampu untuk membawa dampak yang baik bagi perusahaan, karena keluarga memiliki kendali terhadap perusahaan sehingga pengambilan keputusan semakin mudah dan sesuai keinginan dengan cara kerja turun temurun, sehingga pengendalian secara efektif dapat mendukung strategi yang dibuat berjalan lancar dan sukses (Radiawati, 2015).Dalam persaingan bisnis fenomenakepemilikan saham perusahaan di benua Asiayang keberadaannya didominasi olehkepemilikan keluarga yaitu sekitar 60%perusahaan yang proses bisnisnya dikendalikanoleh keluarga. Data Indonesian Institute For Corporation and Directorship menunjukkan bahwa lebih dari 95% perusahaan yang kepemilikannya dikendalikan oleh keluarga (IIDC, 2010 dalam Simanjuntak, 2011 dalamYudastio, 2016). Indonesia memiliki banyak perusahaan keluarga yang cukup terkenal di Indonesia semisalnya Keluarga Ciputra pada raja property, R. Budi Hartono dengan kekayyan 165 Triliun dari perusahaan rokok Djarum dan BCA ygmemiliki saham sebesar 47%. Sinarmas Group yang dimiliki oleh keluarga besar Widjaja, yang didirikan oleh Eka Tjipta Widjaja. PerusahaanSinarmas Grup ini sendiri diawali dengan menjual biskuit dan karena keahlian dalammengontrol dan mengembangkan bisnisnya,perusahaan ini berhasil mengembangkan bisnisnya hingga kebidang lain seperti,pertanian, kertas, sektor keuangan perbankan,pengembang real estate, hingga energi dan infrastruktur. Terdapat faktor penting yang mempengaruhi kinerja suatu perusahaan selain family ownership yaitu, direktur independen. Peraturan ini dikeluarkan oleh Bursa Efek Indonesia yaitu SE-00001/BEI/02-2014 yang diterbitkan pada tanggal 20 Januari 2014 mengenai masa jabatan Komisaris Independen dan Direktur Independen. Peraturan tersebut dikeluarkan oleh BEI agar terciptanya suatu kondisi bisnis perusahaan yang lebih harmonis, makmur, dan lebih sejahtera, khususnya pada perusahaan keluarga. Hal ini terjadi karena didalam perusahaan keluarga, pengendalian yang dilakukan oleh orang luar atau pemegang saham minoritas untuk turut terlibat dalam pengambilan keputusan sangat sulit. Dengan adanya peraturan dari BEI ini, diharapkan dapat menjaga para pemegang saham minoritas agar hak-hak mereka tetap terlindungi (Hasniawati,2014). Akhir tahun 2018 terdapat informasi terbaru mengenai peraturan dari Bursa EfekIndonesia yang akan menghilangkan peraturan yang mewajibkan suatu emiten untuk menambahkan bagian direktur independen dalam manajemennya. Menurut Direktur Penilaian Perusahaan BEI yaitu I Gede Nyoman Yetna Setia mengatakan bahwa selama ini peraturan BEI mewajibkan setiap perusahaan untuk merekrut minimal satu pihak independen dalam direksi perusahaan. Jabatan direktur independen di Indonesia sendiri baru dibentuk dan diresmikan pada tahun 2014 dan diberlakukan mulai 4 Febuari 2014, sebelumnya jabatan ini lebih dikenal dengan komisaris independen atau direktur perusahaan dan jabatan tersebut belum tentu semua perusahaan memilikinya. Dalam SE-00001/BEI/2-2014 menjelaskan bahwa jabatan direktur independen dibentuk untuk menggantikan istilah jabatan direktur tidak terafiliasi. Jabatan ini berfungsi untuk merefleksikan dari penerapan Good Corporate Governance sehingga, tata kelola perusahaan menjadi akuntabel dan dapat memberikan pertanggung-jawaban kepada para shareholder terutama pemegang saham publik.

Konsep Bisnis Keluarga (Family Business)

Dalam hukum perdata (private law), bisniskeluarga tidak didefenisikan secara khusus. Tetapi,pengertian bisnis keluarga bisa dirunut dari pengertiankeluarga (family) dan hubungan kekeluargaan ataupertalian darah menurut hukum. Menurut Stefan S.Handoyo (2010), family is a community of personsheaded by a man and women, united in marriage andtheir offsprings as well as relatives to the third orfourth degree of consanguinity. Dengan begitu, bisniskeluarga atau family business merupakan bisnis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh sejumlah orang yangmemiliki hubungan kekeluargaan, baik suami-istrimaupun keturunannya, termasuk hubungan persaudaraan.

Definisi ini diperlengkapi lagi dengan definisi dari Dictionary of Law (2000) sebagai berikut: company where most of the shares are ownedby members of the same family. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (BW), persaudaran dalam keluarga ada empat golongan. Golongan pertama ialah keluarga dalam garis lurus ke bawah(anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami/isteri. Golongan kedua, terdiri atas keluarga dalam garis lurus ke atas (orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka). Golongan ketiga terdiri atas kakek, nenek, dan leluhurselanjutnya ke atas. Golongan keempat terdiri dari anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Penggolongan semacam ini lazimnya terkait dengan urutan keutamaan dalam pewarisan.

Bisnis keluarga berbentuk badan usaha PT dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi kepemilikan saham(pemegang saham mayoritas) dan segi pengendalian perusahaan (decision maker). Keluarga yang memiliki mayoritas jumlah saham sebuah PT sudah tentu dapat berposisi sebagai pengendali perusahaan (decision maker) lewat Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS). Contoh family business: Group Bakrie, PT Maspion, PT Indofood, Wings Group, PO Bus Haryanto dan lain-lain. Namun, dalam realitas bisnis, pemegang saham minoritas pun bisa dikategorikan sebagai bisnis keluarga ketika keluarga tersebut memberi pengaruh yang besar terhadap pengendalian perusa-haan lewat manajemen. Misalnya, PT HM Sampoernayang meskipun mayoritas sahamnya telah dijual kepihak asing (Phillip Morris), keluarga Sampoerna yang hanya menguasai 5 persen saham masih dominan dalam manajemen perusahaan.

Prinsip-Prinsip Manajemen dalam Bisnis Keluarga

Prinsip (principle) atau basic point merupakankaidah-kaidah atau nilai-nilai dasar yang diyakinisetiap orang sebagai suatu kebenaran mutlak danberlaku universal. Misalnya, kejujuran, transparansi,dan keadilan merupakan prinsip-prinsip dalam bisniskeluarga (family business) yang menggunakanPerseroan Terbatas (PT) sebagai bentuk badan usaha.Prinsip menurut Dictionary of law (2000) disebut sebagai general rule atau the correct way to act. Berdasarkan pemikiran deontologis (etika tentang kewajiban moral), setiap pelaku bisnis wajib taat pada prinsip atau aturan yang dinilai benar. Berbeda dengan pemikiran teleologis (utilitarian), hasil atau manfaat merupakan tujuan utama meskipun kadang-kadang harus melanggar prinsip maupun aturan berbisnis. Seorang pemilik dan pengelola bisnis keluarga berusaha untuk meraih kesuksesan, terutama dari segi profit, namun ia mengalami kegagalan. Bagi pemikiran utilitarian, tindakan si pebisnis ini tergolong tidak baik karena tanpa hasil (utility) yang baik. Tetapi, bagi pemikiran deontologis, kegagalan dalam memulai bisnis tetap dinilai baik karena di balik kegagalan itu terdapat hikmah atau pelajaran hidup yang diraih. Dalam pemikiran deontologis, ketaatan pada prinsip dan aturan yang benar akan membawa kemanfaatan yang jauh lebih besar (kesejahteraan maupun profit) daripada sekedar profit atau hasil yang diraih dengan melanggar aturan atau tanpa prinsip. Demikian pula dalam bisnis keluarga. Keluarga yang sejahtera bisa diraih melalui kegiatan bisnis yang selalu memperhatikan prinsip dan aturan. Profit yang diraih dengan melanggar aturan perpajakan bisa membawa kekawatiran dan kecemasan dalam hidup.Pertama, prinsip kejujuran. Lewis Smedes (1983) berpendapat bahwa kejujuran (dalam bisnis) penting untuk tiga alasan, yaitu membangun kepercayaan, mengembangkan masyarakat, dan melindungi martabat pemangku kepentingannya. Tanpa komunikasi yang jujur dalam menjalankan bisnis keluarga, kepercayaan itu tidak mungkin ada. Jujur itu berlaku terhadap siapa saja, baik di dalam internal maupun eksternal keluarga. Kejujuran di dalam internal keluarga menjadi pondasi yang kokoh dalam membangun bisnis keluarga. Kejujuran internal itu pula yang tergambarkan dilingkungan eksternal keluarga yang meliputi: kejujuran terhadap negara (terutama soal pajak), relasi bisnis,dan kostumer. Bahkan, menurut J. Brooke Hamilton dan David Strutton (1994), kepercayaan yang pada tempatnya akan menghasilkan keuntungan. Para akuntan bisnis dapat menghitung nilai kepercayaan itu pada lembaran pembukuan perusahaan sebagai bagian “perbuatan baiknya.” Selain itu, para pekerja yang percaya pada pimpinannya adalah para pekerja keras. Jika kepercayaan itu dilanggar maka produktivitas pekerja akan menurun. Problem ketenaga-kerjaan sering muncul ketika pengusaha tidak berlaku jujur kepada pekerjanya. Kedua, prinsip keadilan. Seorang direksi, staf atau karyawan perusahaan yang tiba-tiba diberhentikan (dipecat) oleh pemilik perusahaan(owner) tanpa penjelasan yang jelas dari pihak manajemen, dan tanpa diberi kesempatan untuk membela diri, merupakan tindakan yang tidak adil. Pemecatan yang dilakukan tanpa alasan yang jelas merupakan bentuk perampasan hak sosial dan ekonomi pekerja. Demikian pula perlakuan diskriminatif manajemen perusahaan terhadap para pekerjanya, baik dalam hal karir maupun upah.

Kategori
Business Corporate Kebijakan Leadership Manajemen Pemikiran

Menjaga Kesetimbangan Pemangku Kepentingan dan Pemegang Saham melalui “Corporate Governance” (Bagian-2)

Sambungan dari Bagian-1:

Hal ini berakar pada teori yang berbeda yang mendukung gagasan badan hukum (perusahaan , Perusahaan , dll ). Teori “Good governance” Pemegang Saham cenderung mengikuti pandangan Milton Friedman bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah untuk meningkatkan bisnis dan menganggap bahwa kepentingan pemegang saham dalam peningkatan nilai saham mereka sebagai tujuan penting Perusahaan. Konsepsi ini ekspresi paling jelas dalam doktrin nilai pemegang saham, yang menurut perusahaan harus dijalankan demi kepentingan pemegang saham, menciptakan nilai atas nama mereka.

Dengan demikian tujuan manajemen harus memaksimalkan nilai pasar perusahaan. Hal ini, khususnya, dengan kepentingan pemegang saham, yang harus dilindungi secara memadai. Selanjutnya, konsep ini menyiratkan Direksi dan Eksekutif Perusahaan bertindak sebagai agen dari pemegang saham, dan harus menggunakan sumber daya korporasi hanya untuk kepentingan pokok mereka.

Dalam sebuah pemikiran lain, mereka percaya bahwa ada kepentingan suatu kelompok stakeholder lain selain pemegang saham yang harus konsisten dipegang oleh manajemen. Kaum Sosialis, misalnya, percaya bahwa kepentingan masyarakat dan karyawan harus menggantikan kepentingan pelanggan dan pemegang saham (atau negara, dalam banyak kasus).

Mungkin lebih relevan dengan pandangan merubah kebijaksanaan konvensional, yaitu memaksimalkan kepuasan pelanggan harus obyektif mengatur korporasi. Kadang-kadang, tujuan yang mengatur dengan memberi kepuasan pelanggan bisa sangat bermusuhan dengan pertimbangan kepentingan pemegang saham. Tindakan untuk mempromosikan kepentingan stakeholder dipandang, sebagai cara bagi manajer mempromosikan kekuatan dan prestise mereka sendiri, dan mengambil alih sumber daya pemegang saham.

Klaim-klaim yang bersaing untuk preferensi sumber daya dari alokasi perusahaan ini telah memunculkan poin yang jelas berbeda dengan pandangan tentang tujuan apa yang seharusnya untuk mengatur korporasi. Beberapa, seperti diri kita sendiri , percaya bahwa perusahaan terbaik dikelola adalah yang secara konsisten mengatasi “trade-off” dengan cara menciptakan nilai maksimum yang mungkin bagi pemegang saham.

Pemegang Saham yang memaksimalisasi jangka pendek kekayaan menyebabkan pelanggaran sistem, seperti telah kita lihat dalam sejarah skandal keuangan dramatis yaitu di tahun-tahun awal abad ke-21. Dan, memaksimalisasi kepentingan Stakeholder dapat menyebabkan limbah aset korporasi dan penyelewengan. Menetapkan keseimbangan antara berbagai kelompok stakeholder sangat penting untuk kelangsungan hidup jangka panjang Perseroan. Perspektif yang adil dan seimbang antara stakeholder dalam jangka panjang dengan maksimalisasi nilai pemegang saham. Kita melihat Tata Kelola Perusahaan yang baik sebagai rekonsiliasi kepentingan yang divergen.

Kategori
Business Corporate Manajemen Pemikiran Tokoh

Menjaga Kesetimbangan Pemangku Kepentingan dan Pemegang Saham melalui “Corporate Governance” (Bagian-1)

Kesetimbangan Pemangku Kepentingan dan Pemegang Saham adalah penting seperti disampaikan Dr. Sumanjeet, Assistant ProfessorDepartment of Commerce,Ramjas College, University of Delhi dalam Papernya yang berjudul “Balancing the Interests of Shareholders and Stakeholders through Corporate Governance“.  Dia mengatakan, pada penelitian ini, kami berpendapat bahwa kepentingan Pemegang Saham (Shareholder) dan  Pemangku Kepentingan (Stakeholder) yang kompatibel, keduanya berkontribusi untuk efisiensi jangka panjang  dan kemajuan perusahaan.

Dia lebih jauh berpendapat bahwa adalah penting untuk mencapai konsensus yang luas tentang bagaimana mengontrol tindakan Manajemen dalam mendukung kepentingan Stakeholder. Hal ini berakar pada kenyataan bahwa “Corporate Governance” harus berfungsi sebagai sarana untuk mengatur struktur dan mendirikan sebuah prioritas kepentingan secara efisien. Makalah ini dibagi dalam dua bagian. Yang pertama asumsi secara umum tentang “sistem kepemerintahan” pemegang saham vs pemangku pentingan  berorientasi dan manfaat  dan kerugian yang tidak berhubungan. Bagian kedua khususnya berkaitan dengan isu masalah “principal-agent” dalam konteks stakeholder.

Kami menyimpulkan melalui analisis dengan argumen bahwa hasil perspektif yang adil dan seimbang  dalam jangka panjang antara stakeholder dan pemegang saham memaksimalkan nilai motivasi. Ulasan makalah ini terletak pada pemikiran terbaru dalam literatur tentang tata kelola perusahaan, nilai pemegang saham, dan manajemen stakeholder yang secara eksplisit maupun implisit perlu “menyeimbangkan” kepentingan. Rentang pendapat tentang hal ini adalah dramatis. Sebagai contoh, sebagian besar “manajer” tampaknya mengikuti praktek salah satu prinsip utama dari teori stakeholder, bahwa peran mereka adalah untuk memenuhi kepentingan yang lebih luas dari para pemangku kepentingan, bukan hanya pemegang saham.

Beberapa sumber menyatakan bahwa berbagai kepentingan dapat seimbang selama beberapa tujuan jangka panjang  jelas untuk keuntungan bersama. Sumber lain menyatakan bahwa berbagai kepentingan yang bersaing, mustahil untuk diseimbangkan, atau “balancing” menghasilkan pengelolaan yang non-akuntabilitas.

“Corporate Governance” berhubungan dengan struktur organisasi Korporasi dan pengambilan keputusan.  Salah satu tujuan utamanya adalah untuk memastikan bertemunya  kepentingan kelompok yang bersaing yang dipengaruhi oleh kegiatan Perusahaan. Perdebatan tentang hubungan antara kepentingan pemegang saham (investor dan pemilik saham yang diterbitkan perusahaan) dan pemangku kepentingan lainnya  atau “konstituen lain”  (beragam konstituen seperti karyawan , warga Komunitas di mana perusahaan berinteraksi), setua Korporasi.